Menjawab artikel http://rumahkeluarga-indonesia.com/eksistensi-adk-pasca-pernikahan-2198/, saya akan menuliskan pendapat saya mengenai pernikahan dan aktivitas dakwah.
saya alhamdulillah sudah menikah meski masih seumur jagung yakni hampir 2 tahun. mengenai fenomena yang disebutkan di artikel tersebut, saya juga melihatnya sendiri.
sedikit mengenai kami sebelum menikah:
saya aktif di LDK dan Dakwah Sekolah
suami saya aktif di dakwah siyasi dan Dakwah Sekolah
yang saya rasakan saat sudah menikah, saya masih terlibat di berbagai aktivitas dakwah di manhaj2 dakwah di sekitar kami tinggal. memang tidak persis sama ketika saya masih kuliah dulu, saya harus menyesuaikan bentuk partisipasi dakwah saya dengan tempat di mana saya tinggal. misalnya dulu saya aktif di LDK yang menjadi jantung pergerakan dan kaderisasi dakwah di Kampus, tetapi sekarang karena saya sudah pindah dan mengikuti suamis saya maka tentu saja saya sudah tidak terlibat secara langsung di LDK. Saya juga tidak melibatkan diri di LDK di sekitar rumah kami tinggal, tetapi meleburkan diri di berbagai aktivitas dakwah lain.
dan karena dakwah itu bermakna luas, maka saya juga tidak bisa mengungkung diri dengan definisi sempit bahwa
dakwah=LDK atau dakwah=dakwah sekolah saja. karena saya mau tidak mau sudah memasuki fase kehidupan yang berbeda. saya sendiri sekarang berkutat di beberapa komunitas, yang satu berjibaku di isu fotografi (yg juga merupakan hobi saya) dan satu lagi bermain pada isu nasional seperti gerakan penolakan terhadap minuman keras, dan beberapa komunitas lain.
ya, tentu saja saya merindukan hiruk pikuk dakwah di kampus juga dakwah sekolah, tetapi saya sedang memfokuskan diri di komunitas ini yang sedang mulai tumbuh dan menampakkan wajahnya di masyarakat.
suami saya sendiri, alhamdulillah tidak berkurang aktivitas dakwahnya. beliau masih sering pulang pergi bandung-jakarta-bandung hnya untuk mendiskusikan tentang strategi2 dakwah. juga tak terhitung malam2 saat ia harus pergi syuro dengan para kader dakwah se-kecamatan, kota, atau provinsi.
sebagai isteri, tentu saja fitrah untuk terus bersama suami masih menghantui keikhlasan merelakan suami pergi. Saya masih terus berusaha mengalahkan egoisme diri dan mendikte otak serta hati saya bahwa suami bukan milik saya pribadi. berat? tentu saja, tetapi toh selama ini beliau juga sudah sering melepaskan saya untuk pergi ke berbagai kota utk tujuan yg sama.
Ilustrasi (photo postwedding by @poskostudio86) |
Berdasarkan dengan apa yang saya alami sendiri, saya akan memberikan beberapa alasan mengapa sepasang aktivis yg tadinya melejit bak roket di kampusnya namun menghilang saat telah menikah. atau sebaliknya.
1. Visi dan Misi Pernikahan
Jujur ya, saya tidak punya catatan tertulis apalagi diprint lalu ditandatangani bersama mengenai visi misi pernikahan.
saya hanya ingat bahwa "keluarga dakwah" pernah kami diskusikan dan kami putuskan menjadi tujuan bersama saat menikah.
gampang?
tentu saja tidak!
seperti yang tadi saya sampaikan, ada banyak egoisme2 diri untuk "menghalangi" suami untuk tidak pergi kemana2. tapi itu tadi... semua butuh proses belajar.
oya, hal ini tentu saja membuat "kesamaan visi dan misi" dua orang yg akan menikah menjadi poin yang patut menjadi prioritas. karena apa? saat dua orang yang berbeda tujuan pernikahannya bersama, maka yang terjadi adalah mereka saling menghambat laju masing2 menuju visi yang mereka impikan.
2. Pergaulan/peer
saat Anda sedang beradaptasi dengan rutinitas rumah tangga yang seakan tak ada habisnya, dan Anda tersesat di antara lingkungan rumah yang jauh dari dakwah maka tidak diragukan lagi Anda akan memiliki seribu satu alasan utk memaklumi diri utk tidak berkontribusi dalam dakwah. apalagi jika anda tidak memiliki peer/grup yang menyemangati Anda untuk tetap berdakwah semampu Anda.
Alhamdulillah, saya sendiri, keluarga saya dan keluarga suami saya memang masih belum dekat dengan dakwah tetapi kami memiliki lingkungan kerja yang kondusif dan juga komunitas yang mendukung dan saling support tentang dakwah.
selain itu, tentu saja, saya masih setia dengan aktivitas mengaji saja setiap pekan.
meski memang kadang saya harus meninggalkan agenda itu karena ada perjalanan dinas dari kantor atau harus pulang kampung karena panggilan dari orang tua.
saya akui, benar-benar mengakui, bahwa ketika saya masih mengikat diri dengan lingkaran tarbiyah saya maka saya masih terikat pada dakwah. minimal saya diingatkan terus oleh Guru saya bahwa keberadaan saya di sini, tidak hanya untuk saya dan keluarga, tapi jauh lebih besar dari itu. Karena itu, saya merasa malu jika tidak memberikan kontribusi apapun pada dakwah yang telah menyelamatkan saya dari kehidupan hedonis yang sia2.
saat mengaji, maka saya dihadapkan pada agenda mutabaah, saat itu saya berkaca: berapa banyak saya tilawah minggu ini, berapa kali saya silaturahim, berapa kali saya memberi hadiah, berapa kali saya aware akan kondisi terkini di indonesia dan di dunia. saat itu, saya malu dengan diri saya yang dulu yg wara-wiri ke sana kemari utk menyerukan kebaikan di kampus. dan rasa malu itu membawa saya untuk bergerak dan berkontribusi. jazakillah, mbak .. jazakillah teh. barakallahu fiik. :)
3. Manajemen waktu dan skala prioritas
saat menikah, kita (terutama perempuan) akan memiliki jadwal harian-mingguan-bulanan yang itu2 aja dan seperti lingkaran yang tak punya akhir. masak-nyuci piring-nyapu-nyuci baju-nyetrika-beresin rumah-masak-nyuci-dst dst. begituu saja tiap hari/tiap minggu, apalagi jika dua2nya merupakan manusia pekerja (kami misalnya).
kalau dituruti, memang ga akan habis. tapi ketika ada agenda dakwah maka saya sering mendahulukan agenda dakwah itu. memang akibatnya cucian belum tersentuh, atau baju yang sudah kering masih keriting karena belum disetrika atau kamar berantakan karena prioritas tadi. tapi tentu saja saya bilang sama suami saya
"maaf ya, kamarnya masih berantakan" atau "maaf ya bajunya belum disetrika" atau saya minta tolong ke suami saya untuk membantu nyuci baju, menyapu, atau mengepel sehingga pekerjaan rumah lebih cepat selesai.
Alhamdulillah, suami saya mengerti akan hal itu dan mau membantu saat saya kerepotan.
:D
kurang lebih itu pendapat saya.
jika ada yang menambahkan, dipersilakan.
salam dari saya, seorang istri dengan "masa kerja" 22 bulan. :v
No comments:
Post a Comment