setiap fase
kehidupan, kita selalu diberi kesempatan untuk belajar.
bagi yang
sudah menikah, maka fase itu mereka belajar untuk berempati bagi si single yang
masih berikhtiar dan bertawakal menanti si jodoh.
saat masih
sendiri, kita belajar bersabar .
dan saat
sudah menikah, maka kita belajar untuk menahan diri agak tak mengumbar bahagia.
karena hidup
tidak hanya dijalani berdua, ada mereka yang masih belajar tegar.
dimana tolensi untuk si single (photo by hikari) |
tentu yang
sudah menikah pernah mengalami fase single dimana segala pertanyaan
"kapan?" terasa memuakkan.dan tentu
mereka, saya dan kamu, yang sudah menikah juga pernah mengalami saat2 ketika
menghadiri pernikahan rekan, rasa bahagia atas senyum saudaranya dan harap-harap
cemas akan masa depan diri berbaur jadi satu dalam dada.
saat sudah
menikah, alangkah bijak jika menahan diri menjadi hijab yang dipakai.
menikah
bukan berarti menjadi ajang balas dendam terhadap perlakuan yang diterima dari para “senior”nya dulu. malah
seharusnya, menurut saya, menjadi sebuah sarana untuk memberikan teladan (jika
ini bisa disebut sebagai teladan) yang berbeda bagi orang lain. well, ini tak
hanya tentang perasaan si single tetapi juga mengenai perkara yang seharusnya
hanya dinikmati berdua saja: kita (saya, misalnya) dengan pasangan kita.
saya tidak
menampik bahwa menahan diri adalah hal tersulit
karena yang kita lawan adalah
diri sendiri, hawa nafsu kita sendiri. it
takes more than forever hehe
sebagai contoh
nyata, saya akan menceritakan tentang saya saja karena sungguh saya tidak tahu
detil bagaimana kehidupan pernikahan orang lain selain diri saya sendiri.
saya menikah
tgl 25 Februari 2012, hampir 2 tahun yang lalu.
saat sebelum
menikah, tema mengenai publikasi massal pasca pernikahan pernah kami bahas dan
kami sama-sama sependapat bahwa hal itu adalah salah satu bentuk ke-alay-an dan tidak penting.
memang tidak ada kesepakatan tertulis, namun sejak akad selesai kami tidak
pernah:
- saling menge-tag di facebook dengan kalimat2 penuh cinta semacam “untuk kekasih hatiku blablabla…”
- mensyen di twitter seperti “hati2 ya sayangku… blablabla..” padahal suami saya sering pergi keluar kota, satu-dua hari atau 10 harian.
- atau dengan “I love you suami/isteriku..”
- mengupload foto dengan berbagai posisi -yang katanya- romantis di facebook atau instagram.
ini foto terakhir di profil picture facebok saya dan suami saya
punya saya |
punya suami saya |
apakah
benar2 tidak ada interaksi full of romance seperti itu di antara kami? tentu
saja ada.
saya biasa
mengirimkan pesan via whatsapp, sms, atau telepon untuk mengutarakan kerinduan, rasa sayang, cinta
dan sebagainya. karena buat saya, saya
merasa malu jika mengutarakan hal itu via twitter atau facebook. saya merasa
jika begitu saya seperti menyatakan cinta melalui toa masjid yang tersambung
dengan semua layar Handphone di seluruh dunia.
saya tau dan
semua orang yg kenal saya insyaAllah tau bahwa dia adalah suami saya, yang
tentu saja satu-satunya laki-laki yang saya cintai, tetapi saya punya pendapat
bahwa ucapan cinta saya tidak perlu menjadi konsumsi publik. cukup buat suami saya saja.
bagaimana
dengan saling mengetag di facebook? tentu pernah, meski tidak sering.
saya beri
contohnya dari screenshoot profil facebook saya:
*saya cuman nemu ini, kayaknya ada satu lagi :D* |
dari tulisan
ini bukan berarti saya akan mengatakan bahwa karena komitmen yang sudah saya
dan suami sepakati, saya tidak punya keinginan untuk mengekspos kehidupan saya
pribadi di khalayak ramai. tentu masih
ada. bahkan ada suatu saat ketika saya sudah hampir menuliskan sesuatu di
twitter saya atau kotak update status di facebook mengenai kebahagiaan yang
saya rasakan, tetapi sebelum saya mengklik “tweet” atau “update” saya
kembali berfikir apa manfaat saat saya mempublish itu. apakah hanya ingin
pamer? mengharapkan like atau komentar dari orang2?
setelah saya
berfikir beberapa saat, saya lalu mendelete apa yang telah saya tulis dan melupakan
semuanya.
to be continued…
No comments:
Post a Comment